Mengapa Hukuman Cukur Rambut Siswa Tidak Pantas Dilakukan oleh Guru ?

Mengapa Hukuman Cukur Rambut Siswa Tidak Pantas Dilakukan oleh Guru ?




Pendidikan merupakan tonggak utama dalam pembentukan karakter dan perilaku anak-anak di sekolah. Namun, belakangan ini, kita sering kali disuguhi dengan berita tentang kontroversi hukuman fisik yang diberikan oleh para guru kepada siswa yang dianggap melanggar aturan sekolah. Salah satu contohnya adalah kasus cukur rambut siswa yang dilakukan oleh seorang guru di Majalengka, Jawa Barat, yang hampir berujung pada hukuman pidana. Begitu pula dengan kejadian serupa di Banyuwangi, Jawa Timur dan banyak sekali kejadian-kejadian yang serupa namun tidak diberitakan. Fenomena ini menimbulkan perdebatan di masyarakat, terutama terkait kepatutan dan efektivitas hukuman tersebut.

Guru-guru di masa kini dihadapkan pada tantangan yang kompleks dalam mendisiplinkan siswa. Seiring dengan perkembangan zaman, pendekatan pendidikan yang bersifat otoriter dan menekankan hukuman fisik semakin ditinggalkan. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mengamini bahwa pendisiplinan haruslah dilakukan dengan cara yang lebih edukatif. Tantangan ini mendorong para pendidik untuk membangun strategi pendisiplinan yang lebih efektif dan bermakna bagi perkembangan siswa.


Hukuman Cukur Rambut: Tidak Selaras dengan Prinsip Pendidikan

Sanksi fisik seperti cukur rambut oleh guru kepada siswa menimbulkan kontroversi yang mendalam. Meskipun niatnya mungkin baik, guna mendisiplinkan rambut siswa agar terlihat rapi dan seperti siswa yang terdidik.  Penggunaan hukuman fisik seperti ini justru dapat menimbulkan dampak negatif bagi siswa. Guru sebagai pendidik seharusnya mengedepankan pendekatan yang lebih humanis dan menghargai martabat siswa, tak hanya itu sudah sepatutnya pihak sekolah menerapkan strategi khusus untuk mendisiplinkan rambut para siswa.

Menarik untuk dicermati bahwa hukuman cukur rambut seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks dan dampaknya terhadap siswa. Beberapa kasus menunjukkan bahwa cukur rambut dilakukan hanya sebagai bentuk hukuman, tanpa disertai dengan pendekatan pembelajaran yang bermakna. Hal ini menimbulkan pertanyaan akan efektivitas dan kepatutan hukuman tersebut. jika kita melihat beberapa hasil observasi dan penelitian juga pengamatan di lingkungan sekitar, banyak sekali siswa-siswa yang mendapatkan hukuman cukur/ pemetalan dengan keadaan yang kurang pantas alias pitak-pitak. hal ini membuat siswa tersebut menjadi malu, kurang percaya diri, kesal hingga dendam. 


Solusi Alternatif:

Dalam menghadapi tantangan pendisiplinan, penting bagi para pendidik untuk mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan berbasis keadilan. Salah satu pendekatan yang mungkin dilakukan adalah dengan membangun budaya sekolah yang inklusif dan mengedepankan dialog serta pemahaman terhadap kebutuhan siswa. dengan berdialog bisa mencari jalan keluar dari keinginan siswa. namun, terlebih dahulu sekolah harus menetapkan aturan tentang ukuran atau model rambut bagi siswa. sebagai contoh: siswa wajib berukuran rambut samping ukuran 2 bagian atas ukuran 3 atau 4 centi atau yang lebih simpel rambut rapi panjang tidak boleh melewati alis, jika di terapkan untuk model, biasanya model-model seperti potong tentara, botak, buzzcut, potongan seperti pemain bola Mbappe dan lain sebagainya. selanjutnya berdialoglah dengan siswa mengenai masalah rambut, namun di sarankan sekolah bekerja sama dengan ahli/tukang cukur rambut untuk bisa mencukur rambut siswa 2 bulan sekali melalui kerja sama. pihak sekolah juga bisa mencukur sendiri siswa tersebut memotong bagian yang panjang tanpa menjelekkan model tersebut.

Comments